Museum Sonobudoyo 'Angkasa Raya, Ruang, dan Waktu'


Hi guys, aku kembali ke Jogja! Kali ini, aku akan menceritakan tentang museum yang bernama Museum Sonobudoyo. Museum ini terletak di alun alun kota di Jalan Malioboro. Mungkin kalian semua udah pernah ke museum ini, tapi karena tema di museum ini bisa berubah-rubah, mungkin kalian nggak tau apa tema nya sekarang. Saat aku ke museum ini, tema nya lagi tentang angkasa yang ada keterkaitan nya dengan budaya Indonesia, terutama di daerah Jawa. Jadi tema angkasa yang kali ini bukan tentang planet-planet atau tata surya, tapi lebih ke tentang budaya dan agama-agama yang ada di Indonesia yang terkait dengan astronomi. Penasaran kan, apa aja isi nya? Ayo kita lihat! 

Jadi, angkasa itu nggak bisa lepas dari ruang dan waktu. Manusia jaman dulu pun 'membaca' langit dan angkasa untuk mengukur waktu dan menebak pertanda. Mempelajari langit dan angkasa adalah ilmu sains pertama manusia agar bisa membuat fenomena alam yang terjadi setiap harinya menjadi masuk akal. Manusia mempelajari pergerakan benda angkasa (celestial objects) untuk mengukur waktu, memandu mereka dalam kegiatan perburuan, navigasi dan waktu tanam, sampai menentukan prinsip-prinsip kepemimpinan dan juga menjelaskan peristiwa di luar angkasa. Astrologi (ilmu perbintangan) dahulu menjadi bagian dari astronomi purba karena kepercayaan manusia yang menganggap manusia adalah bagian dari alam semesta ini, sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi sudah digariskan dan bisa dibaca lewat pergerakan bintang, bulan, dan matahari. Pameran ini menceritakan tentang etnoastronomi masyarakat Nusantara, khususnya di daerah Jawa dan Bali, dalam budaya yang praktiknya sudah dilakukan pada masa lalu jauh sebelum ilmu astronomi modern dari bangsa barat berkembang.

Sekarang, aku mau cerita tentang jejak pengamatan angkasa yang mempengaruhi Nusantara secara kronologis, atau bisa dibilang garis waktu dari dimulai nya kegiatan astronomi jaman dulu sampai sekarang. Dimulai dari 3,5 juta tahun lalu, saat manusia purba paling tua ditemukan di Afrika. Kemudian, 35,000 tahun lalu, lukisan dinding tertua yang ada di Sulawesi Selatan, gua-gua di Maros dan Pangkep, yang menggambarkan perburuan bintang, babi rusa, gambar telapak tangan yang terkenal itu, gambar yang diperkirakan kayak gambar bintang dan matahari. 4,000 tahun yang lalu, Peradaban Mesopotamia mencatat pengetahuan astronomi yang pertama. Lalu, Mesopotamia memperkenalkan konsep "makrosmos" dan "mikrokosmos" yang sampai di India 1000 tahun yang lalu. Apa itu makrosmos dan mikrokosmos? Kalau kalian mau menanyakan nya, jangan tanya ke aku ya. Soalnya aku juga nggak tau. 

Selain itu, gelombang migrasi komunikasi penutur Austronesia dari Taiwan masuk ke Nusantara pada masa Neolitik lanjut, kata lain untuk berburu dan meramu tingkat lanjut. Kenapa mereka masuk ke Nusantara? Aku juga nggak tau tujuan nya, karena di museum nya sendiri juga nggak dijelasin. Migrasi terjauh dari komunitas Austronesia ini mencapai Madagascar di Benua Afrika. Komunitas ini juga memperkenalkan tanaman padi. Kemudian, mereka mencapai wilayah Papua Barat, Maluku, dan Timor Leste 3,500 tahun yang lalu. Di Timor Leste, ditemukan motif yang diperkirakan adalah Matahari. 3 millennium SM (sebelum masehi), Bangsa Mesir menemukan sistem perhitungan waktu sendiri. 1500 tahun SM, perkembangan peradaban lembah Indus di India mengenal astronomi. Agama Hindu mulai berkembang awal millennial ini dan memperkenalkan kitab Rig Veda (nama kitab agama Hindu) yang memperkenalkan dewa-dewa yang berhubungan dengan langit dan juga arah mata angin. 700 tahun SM, ditemukan bukti paling tua tentang konsep astrologi di Yunani. 564 tahun SM, agama Buddha muncul dan memperkenalkan konsep dewa-dewa dan mudra (sikap tangan yang disesuaikan dengan arah hadap atau mata angin). 

Mulai memasuki tahun masehi, ilmu astronomi semakin banyak masuk ke Nusantara. Di abad 4 masehi, pengaruh agama Hindu mulai masuk ke nusantara dan memperkenalkan sistem penghitungan hari. Abad 4-16 masehi, Nusantara dipengaruhi oleh agama Hindu dan Buddha. Tahun 700-1100 masehi, perhitungan matematis astronomi India masuk ke Nusantara. Tahun 700 M, Perkiraan Pranatamangsa sudah digunakan di agama Hindu dan Buddha. Apa itu Pranatamangsa? Pranatamangsa adalah sistem penanggalan atau kalender yang terkait dengan pengamatan bintang yang memberitahu kapan waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas pertanian, khususnya untuk mengetahui waktu atau masa tanam, penangkapan ikan, dan sebagainya. Sama seperti kalender Masehi, kalender Pranata Mangsa juga disusun berdasarkan pada peredaran Matahari dan juga memiliki 1 siklus dengan 365 atau 366 hari. Pengaruh astronomi India mungkin membantu mengembangkan ilmu ini. 19 Maret 843, Prasasti Sucen yang ditemukan di Temanggung adalah prasasti paling tua yang mencatat fenomena alam Gerhana Bulan yang disebut Candragrahana. Tanggal 7 Oktober 1009, terjadi peristiwa Gerhana Bulan pada masa Jawa Kuno, yang kemudian dipahatkan dalam relief di Candi Belahan, Jawa Timur. Di dalam relief itu digambarkan Candra Sinahut Kalarahu atau Raksasa (Rahu) yang menelan bulan. 

Tahun 12 M, pengaruh Agama Islam mulai masuk ke Nusantara, dimulai dari ditemukannya prasasti yang ditulis dengan bahasa Arab di Sumatera. Tahun 1608, teleskop bintang pertama kali ditemukan di Eropa dan disempurnakan oleh Galileo Galilea. Di abad 17 M, Sultan Agung membuat kalender Jawa yang merupakan gabungan antara perhitungan kalender India (Saka) dan Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Jawa dan untuk kebutuhan upacara dalam tradisi Kraton. Tahun 1885, Sri Susuhunan Paku Buwono VII menyusun naskah Pranatamangsa. Yang terakhir, di pertengahan abad ke-19, astronomi modern diperkenalkan di Batavia (nama Kota Jakarta jaman dulu sebelum diubah) oleh pemerintah Hindia-Belanda. Mereka membangun observatori (tempat meneropong bintang menggunakan teleskop yang ada di dalam gedung) di Batavia dan pada tahun 1920-an, mereka membangun satu lagi yang bernama Observatorium Boscha di Lembang, Bandung.

Itulah garis waktu dari dimulai nya ilmu astronomi jaman dulu sampai astronomi modern yang ada saat ini. Selanjutnya, aku mau menceritakan tentang jejak pengamatan angkasa di Indonesia. Jejak pengamatan angkasa di Nusantara dimulai ribuan tahun lalu yang salah satunya ditandai dengan adanya lukisan-lukisan di batu. Para manusia prasejarah melukis berbagai bentuk gambar, misalnya bintang, bulan, matahari, dan sebagainya yang menjadi bagian dari kehidupan mereka di dinding-dinding gua tempat mereka tinggal. Hal ini menunjukkan ketergantungan manusia pada alam dan angkasa itu sangat tinggi untuk mempermudah mereka mengenal tanda-tanda alam untuk kegiatan perburuan, mengukur waktu, dll seperti yang aku udah jelaskan di paragraf kedua. Di era yang lebih maju sekarang ini, masyarakat Pulau Jawa mengembangkan pengetahuan tentang agraris (pengetahuan tentang pertanian) untuk mengetahui waktu tanam dan panen lewat tanda-tanda atau fenomena alam. 

Kemudian, apa yang mereka lakukan setelah melihat tanda-tanda alam itu? Bukan hanya sekedar tau kapan waktu yang tepat untuk menanam dan waktu untuk panen, kapan waktu untuk berburu, dan lain sebagainya yang udah kusebutkan tadi, tapi ternyata manusia menebak pertanda di alam semesta ini sebagai jawaban untuk segala macam misteri di dunia ini. Menarik sekali kan, kalau dibandingkan dengan orang-orang jaman sekarang yang tinggal utak-atik di HP kalo mau nyari sesuatu. Tahukah kalian, ternyata candi-candi yang dibangun pada masa itu adalah representasi dari alam semesta ini, atau bisa dibilang pembangunan semua candi di masa itu ada hubungannya dengan alam semesta. Jadi kalian tau kan sekarang, candi itu memang tempat untuk sembahyang, tapi juga ada keterkaitan nya dengan astronomi. 

Kemudian, ada pertanggalan. Orang-orang mengamati waktu sebagai hal yang konsisten. Selain matahari, gerak bulan juga menjadi patokan dalam membuat kalender. Kalender bulan menggunakan fase bulan, yaitu bulan mati - bulan separuh - bulan purnama - bulan separuh - bulan mati. Kalender bulan atau Hijriyah terdiri dari 12 bulan, 355 hari, dengan satu bulan dihitung 29 hari. Pergerakan matahari dan bulan ini memperkenalkan siklus pertanggalan yang berbeda-beda di beberapa kebudayaan.

Sementara astronomi modern berkembang, masyarakat Pulau Bali ternyata juga punya pengetahuan yang mengajarkan sistem kalender atau tarikh tradisional Bali, yang bernama "Lontar Wariga". Ilmu yang ditulis di daun lontar ini berhubungan dengan perhitungan hari baik dan buruk sebelum memulai pekerjaan. Wariga Bali terdiri dari 5 kerangka, yaitu wuku, wewaran, pananggal-panelong, sasih, dan dauh. Daun lontar dengan 88 halaman ini didapatkan sejak jaman Panti Boedaja di Surakarta (nama Kota Solo jaman dulu) dulu. Selain itu, Masyarakat Bali juga mempunyai kalender yang bernama "Tika". Kalender yang mirip dengan Kalender Jawa ini masih digunakan sampai sekarang. 

Oh iya, tahukah kalian, ternyata ada loh, yang namanya kalender abadi. Saat mendengar nama ini, pasti kalian berpikir kalau kalender itu akan selalu ada sampai kapanpun alias abadi. Benar pemikiran kalian itu. Kalender ini dibuat dengan tangan dan menggabungkan 2 jenis kalender, yaitu Kalender Jawa dan Kalender Islam (Hijriyah). Siapa yang membuat kalender ini? Katanya, orang yang membuatnya adalah Bapak Suparman. Kalau kalian bertanya apakah ada yang menggunakan kalender ini, aku cuma bisa menjawab mungkin, karena kayaknya nggak banyak yang punya kalender buatan tangan ini, atau bahkan mungkin nggak ada, kecuali Bapak Suparman.

Ngomong-ngomong, aku mau nanya, kalian tau nggak sih, apa perbedaan dari nisan dan prasasti? Prasasti digunakan untuk menceritakan tentang kerajaan (misalnya), atau sederhana nya menceritakan sejarah, karena dulu belum ada yang namanya kertas atau pensil. Sedangkan, nisan digunakan di makam untuk mengetahui identitas orang yang dikuburkan di situ. Di museum ini, ada satu nisan yang ditulis dengan angka dan huruf Arab yang menunjukkan pengaruh Agama Islam yang memperkenalkan sistem penghitungan Kalender Hijriyah atau bulan. 

Setelah itu, ada juga yang namanya Sengkalan. Apa itu Sengkalan? Sengkalan adalah penanda peristiwa yang nggak ditulis dengan angka tapi dengan kata-kata yang ditulis di dalam bangunan (Candi) atau prasasti. Sengkalan digunakan dalam tradisi kebudayaan Jawa. Mungkin kalian berpikir, gimana caranya masyarakat Jawa menggunakan kata-kata untuk menandai peristiwa. Nah, sebenarnya setiap kata itu menunjukkan atau mewakili angka yang berbeda-beda tergantung dari kata apa yang dituliskan, sehingga bisa disusun menjadi angka tahun, bulan, dan hari. Hal menarik lainnya adalah Sengkalan biasanya dibaca dari belakang atau akhir dari Sengkalan itu. Unik, bukan? 

Selain itu, museum ini juga menggunakan Sengkalan untuk memperingati pembangunan dan peresmian museum ini. Sengkalan yang digunakan saat pembangunan museum (atau lebih tepatnya pendapa yang adalah bangunan awal museum ini) tahun 1934 adalah Candrasengkala Memet "Buta Ngarsa Esthining Lata" yang berarti tahun 1865 Jawa (1934 Masehi), sedangkan untuk yang peresmian museum tanggal 6 November 1935 digunakan Candrasengkala Memet "Kayu Winayang Brahmana Buddha" yang berarti tahun 1866 Jawa (1935 Masehi). 

Sekarang tentang astronomi yang terkait dengan Agama Hindu dan Buddha. Yang pertama adalah Prasasti Plalangan. Prasasti itu memiliki relief tokoh wayang yang sedang memanah yang diduga Rama. Menariknya, relief ini bisa dibaca sebagai Sengkalan Memet "Rama Sayaka Asatha" Arti dari Sengkalan ini adalah 857 Saka (935 Masehi). 

Kemudian, ada Prasasti Yantra Mandala, atau dengan nama lain "Prasasti Kali Opak". Prasasti yang berbentuk bulat dan terbagi dalam 9 juring (bisa dibilang bagian) ini ditemukan di Kali Opak. Prasasti ini digunakan sebagai alat pengukur waktu penanggalan seperti "wuku" atau "naksatra" (posisi bulan dan matahari). 

Sekarang, kita masuk ke bagian navigasi dan astronomi religi. Tentang navigasi dulu yang paling aku suka. Setiap orang yang melakukan perjalanan jauh dan pengembaraan membutuhkan alat untuk membantu perjalanan mereka. Kalau sekarang manusia udah pada menggunakan HP dan Google Map, dulu manusia menggunakan kompas. Tapi, sebelum kompas ditemukan, apa yang mereka gunakan untuk membantu mereka mencari arah? Jawabannya adalah alam termasuk angkasa. Manusia sangat bergantung pada kedua hal ini yang membantu mereka mencapai tempat tujuan mereka. Selain itu, gerak matahari yang konsisten membuat manusia mengenal arah mata angin. Panduan yang sederhana ini memudahkan manusia untuk membuat penanda yang disebut kompas. 

Nenek moyang kita sendiri disebut pelaut yang bisa berlayar sampai Madagascar yang artinya nenek moyang kita berhasil melewati Samudera Hindia, tanpa menggunakan kompas. Nenek moyang kita hebat, kan! Pelayaran jarak jauh mereka menunjukkan kemampuan navigasi yang sempurna dalam membaca arah mata angin dengan dibantu oleh matahari pada siang hari, dan dengan konstelasi (rasi) bintang pada malam hari. Kemampuan navigasi nenek moyang kita itu diwariskan dari generasi ke generasi. (kalo kalian belum pernah nonton film Moana, coba nonton sesekali karena ada keterkaitan nya dengan navigasi.)

Selanjutnya tentang religi dan angkasa. Di kehidupan manusia yang sudah mengenal agama dan kepercayaan, astronomi mempunyai peranan yang penting sebagai dasar konsep agama mereka masing-masing. Mengamati benda-benda langit membantu manusia untuk membuktikan kepercayaan mereka pada benda-benda yang ada di langit maupun di bumi, tapi terutama kepada yang memberi kehidupan kepada mereka. 

Beberapa contohnya adalah sering ditemukan masyarakat yang semua orangnya mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme (kepercayaan pada ) yang menyembah matahari karena kebudayaan mereka percaya kalau matahari memberikan kehidupan pada mereka. Yang kedua, Agama Hindu dan Buddha menyembah dewa-dewi mereka lewat patung, misalnya Mandala. Mandala terdiri dari beberapa konsep dan adalah bentuk dari alam semesta yang diwujudkan dalam konstelasi dewa-dewa Buddha dan mungkin juga dari Hindu berdasarkan tingkatan nya. Salah satu konsepnya adalah Mandala Vajradhatu dari Agama Buddha yang terdiri dari 37 dewa. Kenapa Mandala dibuat? Menurutku karena Mandala dibuat untuk menyembah dewa-dewa langit dan untuk memudahkan orang-orang untuk mengenal konstelasi. Selain kedua hal itu, masih ada banyak kepercayaan yang lebih banyak lagi, selain dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah kita ketahui. 

Masih tentang Mandala. Seperti yang udah aku katakan, setiap Mandala terdiri dari dewa-dewa. Nah, aku mau kasih tau kalian 2 diantaranya dari Agama Buddha, yaitu Dewa Budha Vairocana dan Dewa Dhyani Budha (atau mungkin lebih tepat nya mandala, karena di museum nya ditulis begitu). Dewa Budha Vairocana adalah pusat dari ke-37 dewa di Mandala Vajradhatu, sedangkan Dhyani Budha adalah bagian dari konstelasi Mandala Budha di Candi Borobudur. Aneh juga ya, ada mandala di dalam mandala. Ada 2 mudra yang aku ketahui di Mandala Dhyani Budha, yaitu Dhyani Budha Dhyanamudra berarti "bermeditasi" dan Dhyani Budha Bhumiparsamudra yang berarti "bumi sebagai saksi". Kedua mudra yang diperlihatkan dalam 2 arca ini (yang satu lagi Arca Dhyani Budha tanpa mudra) sedang menghadap ke arah mata angin. Dhyani Budha Aksobhya yang berarti menghadap ke arah timur dan Dhyani Budha Amithaba yang berarti menghadap ke barat dalam mandala ini. 

Sekarang, kita menuju ke bagian terakhir tentang dewa-dewa, yaitu tentang Batu Nawasanga. Nawasanga adalah kelompok dewa yang berjumlah 9, yaitu Maheswara, Rudra, Mahadewa, Wisnu, Sankara, Shambu, dan Siwa sebagai Paramasiwa (2 dewa yang lainnya nggak disebutkan soalnya). Kesembilan dewa ini menempati arah mata angin sebagai penjaga nya. 

Kita kembali lagi ke bagian waktu, tapi kali ini tentang waktu siang dan malam. Peradaban-peradaban kuno seperti Mesopotamia dan Mesir sudah mulai menghitung waktu dari jaman dulu sehingga penghitungan waktu dikenal dan juga dilakukan sampai saat ini. Selain kedua peradaban itu, Peradaban Sumeria membuat dasar perhitungan waktu (detik, menit, dan jam) yang didasari oleh gerak matahari yang dibantu oleh air atau pasir. Sistem penghitungan itu menjadi hal yang sangat penting sekali untuk seluruh perkembangan ilmu astronomi. Kalau dulu manusia menandai pergantian waktu dari pagi menjadi siang dan sore menjadi malam dengan pergerakan matahari dan bulan, sekarang kita udah punya alat penanda nya, misalnya dari sore ke malam ditandai dengan suara Maghrib, atau suara jangkrik kalo kalian tinggal di dekat kebun. Yang aku mau katakan adalah manusia mengingat gerak matahari dan bulan itu dengan cara menandai nya dengan banyak cara, salah satu caranya adalah seperti yang aku udah jelaskan barusan, atau menggunakan suara dari alam, misalnya dari binatang yang berbunyi krik krik krik. 

Oh iya, kalian tau nggak alat yang digunakan untuk mengukur waktu di jaman dulu sebelum ditemukannya jam? Namanya adalah lingga. Selain menjadi simbol Dewa Siwa, lingga digunakan sebagai jam matahari untuk menandai waktu. Gimana cara mengetahui waktu menggunakan lingga? Cahaya matahari yang mengenai lingga akan membuat bayangan. Setiap posisi bayangan lingga itu menunjukkan waktu. Itulah cara kerjanya. 
Selain lingga yang digunakan untuk mengukur waktu, ada juga papan petung (perhitungan). Papan petung ini digunakan oleh para petani dan adalah alat bantu untuk menghitung hari baik dan buruk untuk mengadakan upacara-upacara penting. Alat ini juga bisa untuk meramal hari baik dan buruk untuk melakukan suatu kegiatan. Papan petung memuat konsep pertanggalan Jawa dengan wuku dan neptu (baca= 'netu'). Masing-masing papan petung diukir sesuai dengan jumlah pertanggalan yang disesuaikan dengan siklus pasaran atau pancawara (nama pekan yang terdiri dari 5 hari di budaya Jawa dan Bali ), saptawara (nama pekan yang terdiri dari 7 hari di budaya Jawa dan Bali juga), dll yang disesuaikan juga dengan kebutuhan penggunanya. 

Kalau papan petung digunakan untuk meramal hari baik dan buruk untuk melakukan kegiatan, ada alat lain yang mirip dengan papan petung, tapi bedanya adalah alat ini untuk meramal nasib baik dan buruk seseorang berdasarkan gugus bintang saat hari kelahirannya, mirip dengan zodiak atau horoskop. Nama alat atau lebih tepat nya ilmu ini adalah Teks Palintangan dalam Serat Kempalan Warna-warni. Teks Palintangan ditulis di Serat Kempalan Warna-warni bagian pertama pada awal abad ke-20. Naskah ini didapatkan dari Jayadana oleh Panti Boedaja tahun 1936. 

Ngomong-ngomong, kalian tau nggak sih, apa itu primbon dan pawukon? Primbon adalah kitab warisan leluhur Jawa yang berorientasi pada hubungan antara kehidupan manusia dengan alam semesta. Primbon dijelaskan sebagai kitab yang berisi ramalan, budaya Jawa, sistem bilangan untuk menghitung hari baik dan buruk, dan sebagainya. Sedangkan, pawukon adalah perhitungan tradisional di masyarakat agraris, terutama di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pawukon mirip dengan Pranata Mangsa, tapi perbedaannya adalah selain untuk kepentingan pertanian, Pawukon juga biasa dipakai untuk menghitung waktu baik ketika berkegiatan, sehingga pawukon juga mirip sekali dengan papan petung dan juga primbon. Pawukon memiliki siklus hari yang lebih panjang dari kalender Jawa, yaitu siklus 210 hari yang terbagi dalam 30 bagian yang sering disebut dengan wuku. Pawukon juga digunakan untuk menghitung hari keberuntungan, misalnya untuk meramal nasib seseorang, sehingga juga disebut sebagai horoskop dalam tradisi Jawa. Pawukon ditulis dalam bentuk naskah atau serat yang ditulis sebelum abad ke-19. Ilmu pawukon menjadi warisan intelektual leluhur masyarakat Jawa. Selain itu, pawukon juga mirip dengan wuku. 

Apa itu wuku? Wuku adalah siklus penanggalan yang erat dalam budaya Jawa. Wuku menerangkan tentang kebaikan dan keburukan dalam suatu waktu. Manusia adalah bagian dari alam semesta yang membentuk suatu 'rantai primbon' yang pastinya berkaitan dengan wuku salah satunya. Tradisi Jawa menggunakan wuku sebagai sistem penanda waktu untuk meramal nasib seseorang. Melalui wuku, watak dan keberuntungan dari setiap orang bisa diketahui. Pendapat ini memuat fakta bahwa kehidupan manusia nggak bisa lepas dari dewa-dewi atau dari Tuhan. Ada 30 wuku yang menerangkan karakter dari nilai-nilai kehidupan. Bagaimana cara menghitung wuku? Wuku bisa dihitung dari penggabungan sistem pancawara (pasaran) dan saptawara (pekan). 

Kita sampai di bagian terakhir, yaitu bagian mitos. Peristiwa yang terjadi di langit termasuk di bumi kadang-kadang menjadi sebuah mitos akibat pikiran manusia yang belum menjelaskan kejadian itu. Di masa lalu, peristiwa-peristiwa alam terutama di langit dijelaskan dalam konteks kebudayaan etno-astronomi dan diceritakan turun temurun menjadi cerita rakyat yang memberitahukan bahwa manusia di masa lalu pun sudah bisa melihat dan memahami pergerakan benda-benda di angkasa. Di peradaban kuno, orang-orang yang bisa meramalkan masa depan hanya dengan melihat pergerakan konstelasi mendapat kedudukan yang tinggi. Astronomi dianggap penting karena masyarakat dari jaman dulu sampai sekarang yakin kalau segala macam peristiwa di langit, angkasa, dan juga di bumi bisa diprediksi dengan melihat pergerakan benda-benda angkasa. Selain itu peristiwa-peristiwa itu berjalan sesuai dengan siklusnya yang sudah berlangsung selama ribuan tahun. Bahkan ramalan bintang masih dilakukan sampai saat ini. 

Satu mitos yang aku ketahui adalah mitos gerhana matahari. Ada seorang raksasa bernama Kalarahu. Pada saat itu, pencarian Air Tirta Amerta atau air keabadian di dasar lautan susu Ksirarnawa dimenangkan oleh para dewa, sehingga para dewa itu mempunyai hidup kekal (tidak ada akhirnya). Hal ini membuat Kalarahu iri dan menyamar menjadi dewa agar bisa mengikuti upacara untuk meminum Air Tirta Amerta itu. Tapi, penyamarannya ketahuan oleh Dewa Candra (bulan) dan Dewa Surya (matahari). Kemudian dua kedua dewa itu memberitahukan kepada Dewa Wisnu, dan dengan kecepatan kilat, Dewa Wisnu melemparkan cakra yang memotong leher Kalarahu. Tapi, yang dilakukan Dewa Wisnu itu terlambat. Walaupun Air Tirta Amerta tidak masuk ke tubuh Kalarahu, air itu sudah masuk ke lehernya sehingga kepalanya menjadi abadi mengembara di angkasa, sedangkan tubuhnya jatuh ke bumi, yang kemudian menjelma menjadi lesung. Karena Kalarahu dendam pada Dewa Candra dan Surya, Kalarahu selalu berusaha menelan bulan atau matahari yang konon dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai asal usul gerhana matahari dan bulan. 

Gitu deh teman-teman. Menarik juga kan, ceritanya? Aku udah dulu ya. Lain kali aku akan menceritakan tentang angkasa lagi dengan topik yang berbeda dan pastinya juga nggak kalah menarik! See you, Guys! 
















Post a Comment

0 Comments